Anak Bahagia, Orang Tua Bahagia
Selamat malam para
Pembaca yang Budiman...
Jika harus memilih,
mana kah yang kita pilih di antara “anak yang bahagia” atau “orang tua yang
bahagia”. Jika kami yang ditanya maka “anak dan orang tua yang bahagia” adalah
pilihan mutlaknya. Ya karena hal tersebut baik baik semua dan selalu ada cara
untuk menggapainya.
Merubah Mindset
Kembali ke cerita
klasik sewaktu saya masih SMA. Kelas 2 SMA merupakan masa penjurusan. Sebagian besar
teman-teman saya mengingankan masuk jurusan IPA. Disamping pilihan tersebut
bergengsi (kumpulan anak-anak pintar) juga karena keinginan orang tua yang
sangat dominan. Kebanyakan orang tua pada masa itu merasa masa depan
putra-putrinya lebih terjamin jika masuk di jurusan IPA. Sehingga bisa kuliah
di jurusan favorit dan bisa bekerja dengan karier bergaji tinggi di perusahaan
besar.
Seingat saya, saya adalah satu-satunya siswa di kelas
yang langsung mengambil jurusan IPS. Saya sadar diri karena kemampuan eksakta
saya di bawah rata-rata. Tentu saja keputusan tersebut sedikit mengecewakan
orang tua, terutama karena Ibu saya guru matematika. Secara tersirat beliau
menginginkan saya menekuni jalur eksakta seperti keahlian beliau. Tetapi apakah
beliau memaksakan kehendaknya? Tentu saja tidak. Alasannya adalah beliau pernah
mendapat nasehat dari mendiang kakek : “Setiap anak memiliki keunggulan
tersendiri, jangan di sama ratakan dengan keunggulan orang tua”.
Tidak hanya sampai di
situ. Keputusan saya menjadi pedagang juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri
bagi orang tua. Pedagang adalah profesi yang pendapatannya fluktuatif. Akan tetapi
beliau tetap mendukung pilihan karier saya hingga sekarang. Pilihan karier ini
juga sebagai pembuktian bahwa keputusan beliau untuk mendukung saya tidak lah
salah. Setidaknya profesi sebagai pedagang membuat kami sekeluarga bisa hidup
mandiri dan memiliki waktu yang berkualitas untuk mendidik si kecil. Belajar dari
pengalaman pribadi tersebut, saya berusaha juga memahami proses belajar putri
kecil kami.
Bijak dalam Memilih
Beberapa waktu
terakhir ada keputusan baik yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan, yaitu
mengembalikan fungsi Lembaga PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sebagai mana
mestinya. Salah satu langkah praktisnya meniadakan kewajiban pelajaran
CALISTUNG (Membaca Menulis dan Berhitung) bagi para siswa. Hal ini juga didukung
oleh sebuah penelitian yang menyebutkan jika balita dipaksa belajar Calistung
maka berpeluang mengalami tekanan psikoligis. Dampaknya adalah anak bisa jadi
pemberontak.
Keputusan baik ini tidak
serta merta kami terapkan. Mengingat si kecil NAZILA sangat antusias belajar
membaca dan menulis. Sebagai orang tua baru kami giat mengamati dan mempelajari
keunikan-keunikan pada si kecil. Setiap kegiatan kami usahakan membawa kegembiraan,
termasuk dalam hal membaca dan menulis.
Sore tadi si kecil
secara mandiri belajar menulis. Dia menulis ulang banner yang terpasang di
dinding rumah : “SUPPLIER SEPATU SAFETY”. Kami memberikan pujian atas
prestasinya tersebut. Bagi kami selama kegiatan yang dilakukannya menyenangkan
mengapa harus dilarang. Kadang kala memang perlu diberikan batasan dalam
belajar. Misalnya ketika dia memaksa diajari penyebutan bilangan dua angka :
21, 22, 23 dan seterusnya. Jika dirasa akan membebani daya pikirnya, maka
segera kami alihkan ke pembelajaran yang lebih ringan.
Selalu Bahagia
Mengelola EGO sebagai
orang tua butuh dilatih terus menerus. Beberapa waktu yang lalu istri saya
bercerita. Dia menyaksikan ada orang tua menampar anaknya yang masih usia TK, hanya
karena si anak tidak menjawab salam dari teman-teman sekolahnya. Wow...coba
kita rasakan, sebenarnya tindakan tersebut demi pembelajaran bagi anak atau
demi mengobati rasa malu orang tua?. Padahal ada tindakan lain yang bisa
dilakukan supaya anak mendapat pelajaran dan orang tua mendapat kebanggaan. Misalnya
dengan mengarahkan : “Ayo adik dijawab salam dari temannya. Kan adik sudah
pinter”.
Alangkah bahagia jika
setiap pembelajaran yang diberikan kepada anak memiliki tujuan untuk
membahagiakannya. Coba kita tanyakan :
“Apa dedek seneng jadi
putrinya ayah bunda?”
“Kakak tadi senang
belajar berbaris di sekolah?”
“Wah sudah jilid 1
pinternya putra Bunda, seneng kan ikut mengaji di mushola?”
“NAZILA seneng masak
bareng Ayah?”
Orientasi untuk SELALU BAHAGIA memberikan pemahaman
baru tentang makna mendidik anak. Proses pendidikan akan mengarah pada
penumbuhan semangat, bukan pada perbandingan prestasi. Setiap proses akan
dipahami sebagai penguatan potensi unik, bukan langkah terburu-buru mencetak
anak unggul secara instan. Kursus-kursus diberikan untuk mendukung bakat dan
minat anak, bukan hanya untuk memenuhi syarat kenaikan kelas. Karena semua
usaha akan diarahkan untuk mencapai kebahagiaan, maka setiap jengkalnya akan
berisi senyuman. Yakinlah...bahwa WIN-WIN SOLUTION itu ada. Yakinlah...bahwa
orang tua dan anak bisa sama-sama bahagia.
Demikian tulisan
singkat dari kami. Semoga coretan sederhana ini bermanfaat.
Salam Keluarga
Indonesia,
HILDAN FATHONI
CP : 081 2525 4782