Tamu Tak Tahu Diri
pada 10 Juli 2012 pukul 0:01
Jum’at lalu, kerabat dekat saya
punya hajat. Khitanan. Ketika saya telepon malam, pada hari hajatan, dia sedang
sibuk dengan tamu.
Hajatan ini kali pertama. Katanya,
sekaligus yang terakhir. Sibuk luar biasa. Bikin capek, bio-psiko-sosial.
Tamunya banyak sekali. Ketika saya bertanya apakah sudah membuka amplop dari
saya, dia bilang belum sempat!
Saya yakin, jumlah tamunya ratusan
orang. Setiap orang membawa oleh-oleh yang ‘terdaftar’. Artinya, tidak ada yang
kelewatan tanpa catatan, khususnya yang berkaitan dengan uang.
Sebagian besar mereka pulang sesudah
beberapa jam duduk sambil menikmati hidangan dan hiburan. Kecuali anggota
keluarga atau kerabat dekat yang turut membantu hajatan. Biasanya tinggal lebih
lama lagi. Ada kalanya beberapa hari.
Di daerah pesisir utara bagian timur
Jawa Timur, tradisi hajatan masih melekat kuat. Tamu yang bertandang, tidak ada
yang ‘berani’ datang dengan tanpa membawa apa-apa. Minimal, uang! Sudah
lazimnya.
Menghadiri acara khitanan di
sebagian daerah di negeri ini, ibaratnya arisan. Tamu harus ‘tahu diri’,
tentang bagaimana bersikap kepada sang tuan rumah.
Itu pembukaan artikel saya!
Tamu yang datang dalam acara
hajatan, berbeda dengan tamu biasa. Tamu jenis ini, bervariasi. Dari segi
hubungan, ada yang sekedar teman, saudara, hingga kerabat. Dari segi jarak, ada
yang tetangga dekat, satu kampung atau desa, kota, propinsi, hingga luar
negeri. Dari segi sosio-spiritual, ada yang kedekatan karena agama, ada yang
tujuannya murni sosial. Ada yang dorongan kemanusiaan ada yang sekedar ikut
belasungkawa. Dari segi psikologis ada tamu yang mencari selingan, hiburan atau
yang sekedar keluh kesah. Pokoknya, yang namanya tamu, macam-macamlah
kategorinya!
Saya pernah kedatangan tamu yang
'luar biasa'. Memperlakukan rumah kita kayak di rumahnya sendiri. Tidak mau
dilayani. Ikut belanja ke pasar, masak, menyuci pakaian hingga seterika. Tentu
saja tamu ini tidak sebulan penuh di rumah. Hanya tiga hari, dua malam.
Alhamdulillah, rata-rata tamu saya
baik sekali. Kata 'baik' amat relatif dari satu orang ke lainnya. Saya katakan
baik, karena tamunya mengerti apa dan siapanya 'tuan rumah'.
Tuan rumah memiliki banyak
keterbatasan. Keterbatasan dalam berbagai hal, mulai fisik hingga finansial.
Tamu harus mengerti, jika tuan rumah
tidak memiliki seorang pembantu, maka segala sesuatunya butuh tenaga ekstra.
Mulai dari bersih-bersih ruangan, kamar mandi, hingga lantai. Bila ada tamu,
waktu kita biasanya terbatas, karena sebagian harus diberikan kepada tamu.
Apalagi tamu tak diundang. Tahu-tahu 'nylonong'!
Oleh karenanya, jadi tamu,
yang mengerti, harus jeli, kapan dan berapa lama harus bertamu.
Meski demikian, banyak orang sadar
bahwa kedatangan tamu berarti kedatangan rejeki. Dalam sebuah Hadits pernah
diriwayatkan seorang Sahabat Rasulullah SAW, lantaran begitu inginnya menjamu
sang tamu, hingga makanan yang tersisa sedikit disajikan ke tamu. Sementara dia
sendiri, sang tuan rumah, hanya bermain kerikil di atas piringnya, dalam
ruangan 'gelap, karena kuatir sang tamu melihat kejadian yang sebenarnya. Bahwa
tuan rumah, tidak memiliki makanan. Subhanallah!
Zaman sekarang ini, sulit
mendapatkan manusia sekaliber Sahabat Rasul di atas. Walaupun, yang namanya
orang-orang yang berbaik hati serta senang menjamu tamu, juga bisa kita temui.
Semoga kita termasuk orang-orang
yang suka menjamu tamu.
Pembaca.....
Empat hari lalu, saya ke bandara.
Menjemput seseorang yang benar-benar tidak saya kenal. Tamu ini datang ke Qatar
lewat seorang rekan yang bekerja di kantor kami. Kami juga bukan hanya beda
divisi. Tetapi beda pula bangsa dan negeri. Dia dimintai tolong oleh
seorang temannya untuk membantu tamu yang datang ini.
Karena ada kendala yang tidak bisa
dihindari, dia meminta tolong saya untuk membantunya. Sebelum meminta bantuan,
pagi harinya saat kami di kantor, saya sudah tawarkan kesediaan untuk menjemput
sang tamu jika dibutuhkan.
Akahirnya, saya lah yang menemui
tamunya di bandara.
Dari bandara, saya mengantar ke hotel
tempat dia akan menginap selama lima hari mendatang. Saya mengajak makan malam,
sebelum pamitan serta memberikan beberapa informasi tentang Qatar.
Esok lusanya, sebagai yang saya
janjikan, saya mengantarkan sang tamu ke sebuah kantor di mana dia memiliki
kepentingan. Saya juga janjikan akan mengantar ke bandara nanti saat pulang.
Pembaca.......
Melihat perlakuan saya, dia sangat
heran! Semula bahkan mungkin 'curiga'. Maklum, zaman sekarang ini, harus
hati-hati dengan lagak manusia yang SKSD (sok kenal-sok dekat). Saya cukup
mengerti.
Saat makan malam bersama, hari
pertama, saya jelaskan bahwa orang berbuat baik itu tidak dilarang dan tidak
harus diskriminasi. Apakah lantaran saya berkebangsaan Indonesia, jika membantu
orang dari bangsa lain lantas dipertanyakan? Apakah orang Srilanka akan aneh
kelihatannya jika membantu orang Cina?
Saya cukup maklum dengan tamu yang
saya jemput di atas terlalu polos dengan pengalaman masa lalunya. Saya tidak
menyalahkannya. Justru saya akan sangat salah jika sebagai tuan rumah bagi
orang asing yang datang dari luar negeri ini, tidak dijamu semaksimal mungkin.
Apalagi sampai tersesat!
Makanya, jika menjadi tamu, jadilah
orang yang mengerti. Yang memahami 'bahasa' tuan rumah. Agar kedatangan kita
sebagai tamu bukan sebagai musibah. Tetapi pahala!
Kuncinya, tahu benar tentang kapan
harus bertamu, berapa lama bertamunya, bagaimana nanti di sana, mengapa harus
bertamu, siapa saja yang ada di sana saat bertamu, serta jika mungkin, membawa
sesuatu (tidak harus kado atau duit kayak menghadiri hajatan di atas), juga,
kenali bagaimana karakter tuan rumah yang anda kunjungi!
Wah! Jadi repot banget jika mau
bertamu?
Sebaliknya, untuk menjadi tuan rumah
yang baik, tidak harus seperti kerabat saya di atas, menyiapkan banyak makanan
dan kursi berlebihan. Apalagi harus mengidentifikasi apa yang dibawa oleh tamu
kita.
Minimal, keramahan lewat senyuman
lah, meski yang namanya makanan dan minuman tidak tersedia!
Mau mencoba?
Doha, 09 July 2012
shardy2@hotmail.com
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan KOMENTAR :